Kasta Kelima

Musim semi 2014 

Karnataka Express melaju menelusur rel, meninggalkan Delhi menuju India selatan dalam bising yang memekakkan. Saya berjalan menyusuri gerbong yang tergoncang sambil celingukan mengamati deretan dipan di setiap bilik; mencoba mencocokkan nomor urutnya dengan tiket yang saya pegang.

Ini kali pertama saya naik kereta yang khusus melayani rute jarak jauh. Setelah menjejak anak benua ini, saya jadi paham alasan PT Kereta Api India mengisi gerbong untuk kereta sejenis dengan dipan, bukan kursi seperti yang kebanyakan kita temui di Indonesia. Maklum, Karnataka butuh waktu 40 jam untuk menghampiri 32 stasiun antara sebelum tiba di tujuan akhir di Bangalore. Saya dan Furi—teman perjalanan saya—akan turun di pemberhentian kedua, Agra Cantt, yang akan dicapai setelah berperjalanan sekitar 2 jam dari Delhi.

maxresdefault

Karnataka Express melintasi Makali Ghats (Sumber: Youtube)

Di gerbong AC kelas II, penumpang terbagi ke dalam bilik dengan enam dipan bersusun ganda. Di setiap tingkatnya, ada dua dipan yang diatur sejajar seperti twin bed dan satu dipan yang tersusun di sisi pendek dua dipan sejajar tadi. Tersedia gorden di setiap dipan bila si penumpang ingin menyekat ruang pribadi. Hari Raya Holi tinggal dua hari lagi. Wajar jika setiap slot dipan penuh terisi.

Setibanya di bilik tujuan, ternyata saya kebagian dipan kiri atas, sedangkan teman saya di kiri bawah. Seorang ibu lewat paruh baya menempati dipan seberang saya. Dia bersama tiga wanita yang lebih muda yang tampak seru mengobrol sambil bolak-balik ke bilik sebelah yang diisi penumpang pria. Naik kereta jarak jauh di India memang seperti ini. Kita harus jelas menyatakan jenis kelamin saat membeli tiket dan nomor dipan bisa jadi baru ketahuan saat mencetak tiket sebelum berangkat. Sebabnya agar sedapat mungkin setiap bilik diisi oleh penumpang berjenis kelamin sama.

Kedatangan kami menjeda obrolan ibu dan keluarganya di seberang. Sepertinya perhatian mereka teralih karena hijab yang kami kenakan. Saya mengantar salam ‘Namaste’ sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada; mereka membalas dengan salam yang sama, tujuh kali lebih fasih. Tak lama berselang, seorang pria usia 30-an berturban hitam—menantu laki-laki si ibu dari anaknya yang bungsu—datang menghampiri dan ikut meramaikan bilik kami.

“Saya Rana,” katanya dalam bahasa Inggris yang nyaris tanpa aksen Asia Selatan, mencairkan suasana hening berbumbu senyum kaku di bilik itu. Ternyata baik ibu paruh baya maupun dan para wanita ini tak ada yang lancar berbahasa Inggris, jadilah Rana yang bertindak sebagai penerjemah rumpi.

Mertua Rana (berselendang biru) dan para ipar perempuan (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Setelah menjelaskan panjang lebar tentang muasal Hari Raya Holi yang merupakan perayaan keberhasilan melawan para roh jahat, Rana menjeda kalimatnya dengan canggung sebelum lanjut bicara.

“Ehm maaf… Ibu mertua saya tanya. Kasta kalian apa?”

Saya dan Furi lantas bertukar pandangan heran. Baru pertama kali ini ada bertanya tentang kasta sepanjang kami berada di India, empat hari terakhir.

Usut punya usut, si ibu hanya berasal dari kasta rakyat jelata namun berhasil menyekolahkan dua putranya sampai sukses jadi dokter dan ahli IT di Amerika Serikat. Mirip dengan tipikal cerita Indian Dream yang ada di novel karangan Jhumpa Lahiri atau Diva Karuni: anak muda dari anak benua yang sukses kala merantau di Negeri Paman Sam.

Lantas mengalir obrolan soal Islam, Indonesia, dan mengapa bisa orang tua saya maupun Furi membiarkan anak gadisnya keluyuran pelesir di negeri orang. Maklum, saat itu berita perampokan dan pemerkosaan turis Denmark di Old Delhi belum kering dari bibir orang-orang.

DSC_0142

Imbauan pencegahan kekerasan terhadap perempuan di Karnataka Express (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Kasta tampaknya memang perkara penting di Tanah Hindustan, namun saya tak pernah tahu lebih banyak selain yang pernah diajarkan di pelajaran Sejarah dan sumber populer seperti di sini dan di sini.

Bahwa ada empat kasta dalam struktur budaya Hindu: Brahmana, Kshatrya, Waisya, dan Shudra. Keempatnya mewujud dari anggota badan Purusha—serupa roh yang menjadi asal mula alam raya—yang dikorbankan Sang Widi.

Brahmana muncul dari kepala, karena mereka yang mengemban dharma sebagai penyambung wahyu-Nya. Ksatrya dari kedua lengan Purusha karena takdirnya menjadi pelindung semesta. Waisya adalah kelas pekerja yang menjadi penggerak perekonomian yang dibangkitkan dari tungkai kurban Sang Widi. Sedangkan Shudra adalah rakyat jelata, terdiri dari para buruh dan pekerja kasar, yang menyokong ketiga kasta di atasnya. Karena itu kaum Shudra muncul dari telapak kaki Purusha.

Yang kemudian baru saya pahami sebagai awam, perbedaan tingkatan kasta (mestinya) bukanlah stratifikasi sosial. Bahwa bukan berarti hidup menjadi Kshatrya lebih terhormat dari Shudra, atau kemuliaan seorang Brahmana melampaui mereka yang Waisya. Setiap manusia terlahir dengan dharma—tanggung jawab yang mesti diampu selama hidup—masing-masing.

Lebih utama jika seorang Shudra dapat menjalani dharmanya sebaik mungkin sebagai pelayan istana ketimbang dia ingkar dan memilih menjadi prajurit untuk membela raja. Jika seorang manusia mampu mengemban dharmanya dengan baik, maka ia akan bereinkarnasi menjadi makhluk dengan derajat yang lebih tinggi di kehidupan mendatang dan sebaliknya.

Screen Shot 2017-10-20 at 13.20.01

Dari bagian tubuh Purusha, keempat kasta menjelma (Sumber: Asiansociety.org)

Walau demikian, sejarah juga mencatat bahwa sistem kasta tak bisa mengelak dari jebakan stratifikasi sosial itu sendiri. Yang mendapat takdir terlahir di kelas rakyat jelata terjebak dalam ekonomi yang morat-marit, sementara yang menduduki kasta terhormat mendapat kemudahan akses ke sumber daya untuk hidup berkecukupan.

Gerbong kereta jarak jauh di India adalah miniatur sistem kasta yang mempertontonkan kesenjangan yang menganga. Ada empat kelas gerbong kereta, berurut dari yang paling mewah adalah jenis AC kelas I, lalu AC kelas II, AC kelas III, dan gerbong paling murah, kelas Sleeper yang tanpa AC dan berbangku kayu keras. Kalau bilik gerbong AC kelas II berkapasitas enam penumpang, maka di AC kelas I hanya dua orang per bilik plus bonus pintu yang bisa dikunci dari dalam. Sebagai perbandingan, harga tiket tiket AC kelas I Karnataka Express sekitar tujuh kali lipat lebih mahal dibandingkan Sleeper.

Hampir semua kereta di India—dengan pengecualian semacam Shatabdi Express yang merupakan kereta jarak pendek Agra-Delhi—lengkap memuat ragam kelas di rangkaian gerbongnya. Barangkali inilah cara Pemerintah India meredam gesekan sosial antar kasta. Bahwa baik Si Kaya yang mampu membayar gerbong AC kelas I di Karnataka Express, maupun Si Miskin yang hanya sanggup membeli tiket Sleeper berbangku kayu—bayangkan duduk 40 jam di atasnya!—akan tiba pada waktu yang sama di Bangalore untuk merayakan Holi.

14284836801_f47fb4bf26_k

Suasana gerbong Sleeper (Sumber: Gapyear.com)

Obrolan kami terjeda pengumuman kereta. Agra Cantt adalah stasiun pemberhentian selanjutnya. Saya dan Furi berpamitan sambil terbungkuk-bungkuk, menghindarkan kepala kami agar tidak terantuk dipan di atas.

Have a great time at Taj!” teriak Rana dari jendela Karnataka Express yang lanjut melaju ke arah Teluk Benggala di timur, sebelum berbelok ke Gwalior di selatan sebagai pemberhentian selanjutnya.

Di pintu keluar stasiun, Kuldeep, sopir dari penginapan sudah berdiri menanti kami.

***

Matahari belum terbit sewaktu Ranjana, pemilik penginapan, mengetuk pintu kamar untuk memastikan saya dan Furi tak kesiangan bangun. Pemilihan waktu jadi penting saat mengunjungi Taj Mahal karena sudut datang matahari yang memantulkan refleksi terbaiknya terjadi di pagi hari. Selain itu, objek wisata paling populer di seantero India ini akan makin ramai seiring hari beranjak siang.

“Ranjana, tiket terusan Taj harganya 750 Rupee per orang, ya?” saya bertanya sekali lagi kepada induk semang kami, memastikan informasi yang saya dapat di internet.

“Betul, kalau bukan warga negara Persemakmuran bayar segitu,” katanya sambil sibuk menyiapkan sarapan.

Ranjana, sebagaimana tertulis di situs sederhana penginapannya, hanyalah ibu rumah tangga asli Agra yang menyeling kesibukan hariannya dengan membuka penginapan. Selain Aman Homestay, setidaknya ada tiga penginapan lain di antara 20-an rumah di enklaf Taj Nagri—enklaf adalah semacam komplek perumahan kecil—tempat Ranjana tinggal. Ibu dua anak ini tak ingin ketinggalan menadahi cipratan rezeki pariwisata yang mampir ke tempatnya tinggal.

Bisnis pelesiran di Taj Mahal memang menggiurkan. Puncaknya tercatat pada tahun 2012 ketika tidak kurang dari 790 ribu turis asing menyambangi salah satu keajaiban dunia ini. Pada tahun 2013 dan setelahnya, jumlah tersebut perlahan menurun ke kisaran 600-an ribu turis asing. Namun angka tersebut—ditambah turis lokal yang jumlahnya di atas 2 juta orang per tahun—tetap mampu menghidupi bisnis pariwisata yang melibatkan ribuan orang di Uttar Pradesh.

“Uttar Pradesh adalah negara bagian paling indah di India dan Agra adalah permatanya,” katanya dengan nada bangga, sembari menghidangkan telur orak arik dan dua lembar roti panggang hangat yang kecoklatan.

Walau Taj Mahal letaknya hanya 1,5 km dari penginapan, kami pilih naik becak ke tempat penjualan tiket agar tidak kehilangan waktu. Saya agak bengong waktu tahu tarifnya cuma 10 Rupee atau Rp 2.000. Ternyata bapak penarik becak khawatir tak laku kalau pasang harga lebih tinggi. Maklum, becak megap-megap bersaing dengan bajaj.

Di tempat penjualan tiket di Gerbang Timur, kami membeli tiket terusan untuk sehari. Dengan membayar 750 Rupee—setara Rp 150 ribu—kami juga dapat masuk ke Agra Fort dan Fatehpur Sikri. Cukup layak untuk harga sekian. Walau begitu, saya kaget waktu melihat murahnya harga tiket kelas umum untuk pengunjung lokal. Hanya 20 Rupee!

Seusai membeli tiket, saya jadi tahu kalau sebagian pengunjung Taj Mahal pun sepertinya adalah peziarah—alih-alih wisatawan—karena terlihat dari cara mereka berpakaian serba putih dan tanpa alas kaki. Umumnya mereka bepergian dalam kelompok, berangkat dari salah satu titik di India untuk berziarah dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya. Ternyata mausoleum buatan Shah Jahan yang Khalifah Dinasti Mughal ini juga penting bagi pemeluk agama Hindu karena berada di tepian Sungai Yamuna yang dikuduskan sebagai salah satu anak Sungai Gangga.

Dengan tiket yang tergenggam di tangan, saya berlari kecil menyongsong sinar matahari yang mulai hangat menyengat pipi. Ternyata ada ratusan pengunjung lain selain saya dan Furi yang juga bangun subuh hari ini. Gerbang Agung sudah lumayan sesak oleh turis yang ingin mengambil potret si monumen cinta dalam refleksi yang sedang cantik-cantiknya.

WhatsApp Image 2017-10-20 at 09.53.08

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Setelah puas mengagumi Taj Mahal dari sisi Gerbang Agung di selatan, saya dan Furi bergerak menyusur taman air untuk mendekati mausoleum di utara. Sebelum boleh naik ke area makam yang sepenuhnya terbuat dari marmer putih, pengunjung harus melepas alas kaki. Seorang petugas membagikan pembungkus kaki kalau-kalau pengunjung enggan menjejak lantai dengan telapak yang telanjang.

Sembari bersalin alas kaki, saya memperhatikan sekeliling. Ternyata tidak semua pengunjung dapat fasilitas pembungkus kaki seperti kami. Selain itu, ada pemisahan rute bagi pemegang tiket masuk versi paket lengkap seperti punya saya versus tiket kelas umum seperti milik para peziarah. Kaki-kaki telanjang mereka menapak ke arah pelataran yang menjauh dari cungkup makam utama, entah ke sudut Taj yang mana.

Saya tercenung.

DSC_0237

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

***

Setelah selesai berkeliling ke Agra Fort dan Fatehpur Sikri, saya jadi sadar bahwa di Agra—dan banyak tempat wisata lainnya—ada satu kasta lagi sekaligus yang paling kuasa: para pelancong. Mereka yang rela membayar berapapun demi mengejar pengalaman paling tak terlupakan, foto paling menawan, dan cerita paling berkesan. Mereka yang sanggup membeli tiket paling mahal, hotel paling strategis, kendaraan paling nyaman, makanan paling enak, dan suvenir paling spesial.

Bagi para pelancong, Agra adalah tujuan wajib bila berkunjung ke India karena ada Taj Mahal yang indahnya paripurna. Tetapi bagi rakyat kelas bawah di Agra, keberadaan monumen bersejarah di kampungnya bisa jadi tak lebih dari dongeng yang mereka pandangi di kejauhan tanpa pernah melihat langsung dari dekat.

Sebagai gambaran, upah minimum pekerja kasar di Uttar Pradesh hanya 7.400 Rupee atau setara Rp 1,4 juta per bulan. Artinya, kalau seorang buruh pemintalan benang di Agra ingin membeli tiket ‘high value’ untuk mendapatkan akses penuh ke semua bagian Taj Mahal, maka dia harus menukarnya dengan hasil keringat selama tiga hari kerja.

Kehadiran kasta kelima di Agra seperti belati bermata dua. Di satu sisi, keberadaan industri pariwisata di Agra mendatangkan berkah bagi orang-orang seperti Ranjanna, Kuldeep, dan bapak penarik becak. Namun di sisi lain, kehadiran satu kasta yang begitu berpengaruh di hadapan kemiskinan yang kasat mata juga mengganggu benak saya.

Barangkali, munculnya para pelancong adalah jalan bagi pekerja industri pariwisata Agra—seperti Kuldeep, Ranjanna, dan bapak penarik becak—untuk memenuhi dharmanya; dengan menjadi sekrup dan baut yang menjaga roda pariwisata Agra tetap bergulir untuk melayani sang kasta kelima.

Kabar buruknya, saya bagian dari kasta adikuasa itu.